k3
Ergonomika
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum
Diperiksa
Ergonomika
atau (kurang tepat) ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara
manusia dengan elemen-elemen lain dalam suatu sistem, serta profesi yang
mempraktekkan teori, prinsip, data, dan metode dalam perancangan untuk
mengoptimalkan sistem agar sesuai dengan kebutuhan, kelemahan, dan keterampilan
manusia.
Ergonomi
berasal dari dua kata bahasa Yunani: ergon dan nomos: ergon berarti kerja, dan
nomos berarti aturan, kaidah, atau prinsip. Pendapat lain diungkapkan oleh
Sutalaksana (1979): ergonomi adalah ilmu atau kaidah yang mempelajari manusia
sebagai komponen dari suatu sistem kerja mencakup karakteristik fisik maupun
nirfisik, keterbatasan manusia, dan kemampuannya dalam rangka merancang suatu
sistem yang efektif, aman, sehat, nyaman, dan efisien.[rujukan?]
Bentuk
kata sifatnya adalah ergonomis.
Hukum
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan
dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang memproteksi pekerja, perusahaan,
lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja.
Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh perusahaan.
K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja
(zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya
pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak
biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi
jangka panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan
datang.
Bagaimana
K3 dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu norma
keselamatan, kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan kerja
merupakan sarana atau alat untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang
tidak diduga yang disebabkan oleh kelalaian kerja serta lingkungan kerja yang
tidak kondusif. Konsep ini diharapkan mampu menihilkan kecelakaan kerja
sehingga mencegah terjadinya cacat atau kematian terhadap pekerja, kemudian
mencegah terjadinya kerusakan tempat dan peralatan kerja. Konsep ini juga
mencegah pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat sekitar tempat kerja.Norma
kesehatan kerja diharapkan menjadi instrumen yang mampu menciptakan dan
memelihara derajat kesehatan kerja setinggi-tingginya.
K3
dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat kerja, misalnya
kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban udara, dan lain-lain yang
dapat menyebabkan kerusakan pada alat pendengaran, gangguan pernapasan,
kerusakan paru-paru, kebutaan, kerusakan jaringan tubuh akibat sinar
ultraviolet, kanker kulit, kemandulan, dan lain-lain. Norma kerja berkaitan
dengan manajemen perusahaan. K3 dalam konteks ini berkaitan dengan masalah
pengaturan jam kerja, shift, kerja wanita, tenaga kerja kaum muda, pengaturan
jam lembur, analisis dan pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal-hal
tersebut mempunyai korelasi yang erat terhadap peristiwa kecelakaan kerja.
Eksistensi
K3 sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi industri di Eropa, terutama
Inggris, Jerman dan Prancis serta revolusi industri di Amerika Serikat. Era ini
ditandai adanya pergeseran besar-besaran dalam penggunaan mesin-mesin produksi
menggantikan tenaga kerja manusia. Pekerja hanya berperan sebagai operator.
Penggunaan mesin-mesin menghasilkan barang-barang dalam jumlah berlipat ganda
dibandingkan dengan yang dikerjakan pekerja sebelumnya. Revolusi IndustriNamun,
dampak penggunaan mesin-mesin adalah pengangguran serta risiko kecelakaan dalam
lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan cacat fisik dan kematian bagi pekerja.
Juga dapat menimbulkan kerugian material yang besar bagi perusahaan. Revolusi
industri juga ditandai oleh semakin banyak ditemukan senyawa-senyawa kimia yang
dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan fisik dan jiwa pekerja
(occupational accident) serta masyarakat dan lingkungan hidup.
Pada
awal revolusi industri, K3 belum menjadi bagian integral dalam perusahaan. Pada
era in kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai kecelakaan atau resiko kerja
(personal risk), bukan tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini diperkuat
dengan konsep common law defence (CLD) yang terdiri atas contributing
negligence (kontribusi kelalaian), fellow servant rule (ketentuan kepegawaian),
dan risk assumption (asumsi resiko) (Tono, Muhammad: 2002). Kemudian konsep ini
berkembang menjadi employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab
pengusaha, buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan
kerja.Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada sejak
pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda mendesak
Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang ditandai dengan
penerbitan Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun 1910. Selanjutnya,
pemerintah kolonial Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan
perlindungan bagi keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara terpisah
berdasarkan masing-masing sektor ekonomi. Beberapa di antaranya yang menyangkut
sektor perhubungan yang mengatur lalu lintas perketaapian seperti tertuang
dalam Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en de Exploitate van Spoor en
Tramwegen Bestmend voor Algemene Verkeer in Indonesia (Peraturan umum tentang
pendirian dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas umum Indonesia)
dan Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 1940 (Ordonansi
Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan
Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya. Kepedulian Tinggi
Pada awal zaman kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu strategis dan menjadi
bagian dari masalah kemanusiaan dan keadilan. Hal ini dapat dipahami karena
Pemerintahan Indonesia masih dalam masa transisi penataan kehidupan politik dan
keamanan nasional. Sementara itu, pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai
dirintis oleh pemerintah dan swasta nasional.
K3
baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin ramainya
investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional (manufaktur).
Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang
ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No.
1 Tahun 1070 tentang Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No.
14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja tidak
menyatakan secara eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan sebagai norma
kerja.Setiap tempat kerja atau perusahaan harus melaksanakan program K3. Tempat
kerja dimaksud berdimensi sangat luas mencakup segala tempat kerja, baik di
darat, di dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang
angkasa.
Pengaturan
hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai dengan sektor/bidang usaha.
Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU No. 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Selain sekor
perhubungan di atas, regulasi yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai dalam
sektor-sektor lain seperti pertambangan, konstruksi, pertanian, industri
manufaktur (pabrik), perikanan, dan lain-lain.Di era globalisasi saat ini,
pembangunan nasional sangat erat dengan perkembangan isu-isu global seperti
hak-hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh.
Persaingan global tidak hanya sebatas kualitas barang tetapi juga mencakup
kualitas pelayanan dan jasa. Banyak perusahaan multinasional hanya mau
berinvestasi di suatu negara jika negara bersangkutan memiliki kepedulian yang
tinggi terhadap lingkungan hidup. Juga kepekaan terhadap kaum pekerja dan
masyarakat miskin. Karena itu bukan mustahil jika ada perusahaan yang peduli
terhadap K3, menempatkan ini pada urutan pertama sebagai syarat investasi.
HSE
HSE
(Health, Safety, Environment,) atau di beberapa perusahaan juga disebut EHS,
HES, SHE, K3LL (Keselamatan & Kesehatan Kerja dan Lindung Lingkungan) dan
SSHE (Security, Safety, Health, Environment). Semua itu adalah suatu Departemen
atau bagian dari Struktur Organisasi Perusahaan yang mempunyai fungsi pokok
terhadap implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
mulai dari Perencanaan, Pengorganisasian, Penerapan dan Pengawasan serta
Pelaporannya. Sementara, di Perusahaan yang mengeksploitasi Sumber Daya Alam
ditambah dengan peran terhadap Lingkungan (Lindungan Lingkungan).
Membicarakan
HSE bukan sekedar mengetengahkan Issue seputar Hak dan Kewajiban, tetapi juga
berdasarkan Output, yaitu korelasinya terhadap Produktivitas Keryawan. Belum
lagi antisipasi kecelakaan kerja apabila terjadi Kasus karena kesalahan
prosedur ataupun kesalahan pekerja itu sendiri (naas).
Dasar
Hukum
Ada
minimal 53 dasar hukum tentang K3 dan puluhan dasar hukum tentang Lingkungan
yang ada di Indonesia. Tetapi, ada 4 dasar hukum yang sering menjadi acuan
mengenai K3 yaitu:
Pertama,
dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, disana
terdapat Ruang Lingkup Pelaksanaan, Syarat Keselamatan Kerja, Pengawasan, Pembinaan,
Panitia Pembina K-3, Tentang Kecelakaan, Kewajiban dan Hak Tenaga Kerja,
Kewajiban Memasuki Tempat Kerja, Kewajiban Pengurus dan Ketentuan Penutup
(Ancaman Pidana). Inti dari UU ini adalah, Ruang lingkup pelaksanaan K-3
ditentukan oleh 3 unsur:
Adanya
Tempat Kerja untuk keperluan suatu usaha,
Adanya
Tenaga Kerja yang bekerja di sana
Adanya
bahaya kerja di tempat itu.
Dalam
Penjelasan UU No. 1 tahun 1970 pasal 1 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2918, tidak hanya bidang Usaha bermotif Ekonomi tetapi Usaha
yang bermotif sosial pun (usaha Rekreasi, Rumah Sakit, dll) yang menggunakan
Instalasi Listrik dan atau Mekanik, juga terdapat bahaya (potensi bahaya
tersetrum, korsleting dan kebakaran dari Listrik dan peralatan Mesin lainnya).
Kedua,
UU No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning Labour
Inspection in Industry and Commerce (yang mana disahkan 19 Juli 1947). Saat
ini, telah 137 negara (lebih dari 70%) Anggota ILO meratifikasi (menyetujui dan
memberikan sanksi formal) ke dalam Undang-Undang, termasuk Indonesia (sumber:
www.ILO.org). Ada 4 alasan Indonesia meratifikasi ILO Convention No. 81 ini,
salah satunya adalah point 3 yaitu baik UU No. 3 Tahun 1951 dan UU No. 1 Tahun
1970 keduanya secara eksplisit belum mengatur Kemandirian profesi Pengawas
Ketenagakerjaan serta Supervisi tingkat pusat (yang diatur dalam pasal 4 dan
pasal 6 Konvensi tersebut) – sumber dari Tambahan Lembaran Negara RI No. 4309.
Ketiga,
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Paragraf 5 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pasal 86 dan 87. Pasal 86 ayat 1berbunyi:
“Setiap Pekerja/ Buruh mempunyai Hak untuk memperoleh perlindungan atas (a)
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Aspek
Ekonominya adalah Pasal 86 ayat 2: ”Untuk melindungi keselamatan Pekerja/ Buruh
guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Sedangkan
Kewajiban penerapannya ada dalam pasal 87: “Setiap Perusahaan wajib menerapkan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang terintegrasi dengan
Sistem Manajemen Perusahaan.”
Keempat,
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen
K3. Dalam Permenakertrans yang terdiri dari 10 bab dan 12 pasal ini, berfungsi
sebagai Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K-3 (SMK3), mirip OHSAS 18001 di
Amerika atau BS 8800 di Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar